Trotoar di sekitar Jalan Uisadangno, Korea Selatan, lebar sekali. Trotoar di samping Gedung Korean Federation Small Business, ini pada jam bubar kerja di sore hari, puluhan orang bergegas menuju subway Youido.
Namun, di trotoar yang sama, sekumpulan remaja tetap leluasa bermain sepatu roda. Tidak satu kaki pun menjejak ke badan jalan. Suasana yang berbeda terjadi di Bandung pada Sabtu siang, dua orang polisi menghadang para pejalan kaki di Jalan Merdeka, tepatnya di depan restoran waralaba MC Donald’s, Bandung Indah Plaza (BIP). Para petugas ini sedang menertibkan para pejalan kaki yang melangkah di badan jalan agar berjalan di trotoar. Sosialisasi penggunaan trotoar dan jembatan penyeberangan di Kota Bandung telah gencar dilakukan.
Di trotoar depan BIP, para pejalan kaki yang tidak lain “pemilik” dari trotoar, tidak bisa leluasa berjalan. Mereka yang tengah asyik mengobrol bertiga terpaksa berpisah sepanjang jalan. Ketidaknyamanan berjalan di trotoar tidak hanya terjadi di trotoar BIP, tetapi juga di hampir seluruh trotoar di Kota Bandung. Di Jalan Juanda (Dago) Bandung, pejalan kaki harus turun naik trotoar karena trotoar dipotong jalan masuk sebuah rumah atau pertokoan. Di Jalan Dewi Sartika yang juga padat pejalan kaki, puluhan orang berjalan di badan jalan karena trotoar tak juga kunjung selesai diperbaiki. Di Jalan Sumbawa, orang cukup bermimpi saja bisa berjalan di trotoar karena di kiri kanan jalan penuh semak belukar.Sementara di Jalan Kalimantan, tepatnya di seberang Taman Lalu Lintas, trotoarnya cukup nyaman, bersih, dan rapi. Sayangnya, setiap hari nyaris tidak pernah ada orang yang lewat di sana. TROTOAR yang lebar terdapat di sekitar Museum Konferensi Asia Afrika di Jalan Asia Afrika. Lebar trotoar sampai sekitar tiga meter. Sayangnya, trotoar terpotong gerbang museum. Jadi, mau tak mau pejalan kaki turun lagi ke jalan. Di beberapa trotoar masih ditemukan lubang, tegel yang hilang, pedagang kaki lima, pohon, bahkan bak sampah.Karena kurang memadainya trotoar, kesemrawutan pun selalu tampak di jalan-jalan sekitarnya. Kesemrawutan lalu lintas, terutama di hari libur, selalu mewarnai kawasan perbelanjaan di Kota Bandung seperti Jalan Juanda, Riau, Banda, Cihampelas, dan Dewi Sartika.
Menurut Haryo Winarso, peneliti senior dari Laboratorium Desain Urban, Departemen Planologi ITB, ketidakselarasan trotoar dengan lingkungan di sekitarnya terjadi karena penataan kota tidak dilakukan secara utuh.“Perubahan fungsi kawasan seharusnya diikuti dengan perubahan fasilitas umum juga,” kata Haryo. Ia mencontohkan kawasan Jalan Riau dan Dago. Dua kawasan itu semula merupakan daerah permukiman, namun kemudian fungsinya telah berubah menjadi kawasan perdagangan.Akibatnya, desain trotoar di kawasan itu yang tadinya selaras dengan lingkungan permukiman, menjadi tidak cocok lagi. Untuk kawasan permukiman, trotoar selebar 1-1,5 meter sudah cukup memadai. Namun, untuk kawasan perdagangan lebar trotoar diperkirakan tiga meter, disesuaikan dengan kepadatan pejalan kaki di area tersebut. Lebar sebuah trotoar tidak bisa diberlakukan secara umum untuk semua kawasan, namun ditentukan berdasarkan volume pejalan kaki di daerah itu. Meski demikian, Direktorat Jenderal Bina Marga pada 1990 telah menetapkan lebar efektif trotoar yaitu 1,2 meter. Menurut Haryo, lebar efektif ini hanya untuk pejalan kaki.Jika di sekitar trotoar akan dibuatkan taman, ditumbuhi pohon, atau dipasangi tiang papan reklame, maka harus ada penambahan areal khusus untuk itu. Namun, yang terjadi di Kota Bandung, banyak pohon atau tiang-tiang berdiri di tengah lebar efektif trotoar. Contoh ini bisa dilihat di Jalan Padjadjaran. Standar lain yang harus dipenuhi adalah trotoar harus lurus, tidak terpotong oleh jalan masuk menuju toko atau rumah. Jika dibutuhkan jalan masuk ke rumah atau toko, maka dibuatkan jalan landai menuju trotoar sehingga kendaraan bisa melintas trotoar masuk menuju bangunan.
Yang terjadi di Bandung seperti di Jalan Juanda dan Pungkur, trotoar justru dihilangkan dan dibuat jalan landai tinggi oleh pemilik bangunan.
Trotoar tidak boleh berlubang dan didesain sesuai kecepatan pejalan kaki di kawasan itu. Selain itu, ada standar baru yaitu trotoar harus memiliki jalan landai bagi pengguna kursi roda masuk ke trotoar, juga tegel bertekstur. Standar baru ini sudah diterapkan di Jepang dan negaranegara Eropa. Di Indonesia, standar ini sudah diterapkan di beberapa kawasan di Yogyakarta. “Di Bandung belum ada sama sekali,” kata Haryo. Menurut William H Whyte dalam bukunya, City, pembuatan trotoar harus dibuat dengan pertimbangan sifat-sifat manusia. Biasanya pejalan kaki akan berjalan menghadap ke depan dan mengamati orang yang menuju ke arahnya.Pada jarak setengah meter mereka bisa saling bertatap mata dan mengambil keputusan untuk menyapa, tersenyum, atau menghindari seseorang. Ukuran lebar ditentukan dengan tiga orang, dengan jarak masing-masing 10 sentimeter ke kiri dan ke kanan sebagai area untuk menghindari seseorang.
Trotoar dibangun pada abad ke-18 saat Thomas Stamford Raffles menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia. Ia membuat ketentuan ukuran trotoar yaitu tinggi sekitar 31 sentimeter dan lebar 150 cm. Entah kapan, kota yang dulu dijadikan tempat pelesir para meneer Belanda ini bisa dipakai pelesir sambil berjalan kaki atau main sepatu roda serta duduk-duduk dengan keluarga sambil menikmati suasana sore Bandung yang sejuk.
6 komentar:
kalau kawasan dago sih, mau jalan aja susah. jalan yang bagus digunakan PKL untuk berdagang, jalan yang tersisa ga lebih baik daripada di gunung(penuh kerikil dan lubang). Jalan di bandung sudah bukan "sehat" lagi yang ada malah kerusakan tulang & sendi, gak heran kalau pengguna kendaraan bermotor makin banyak.
Untuk tambahan informasi terkait postingan di atas bisa juga lihat di link : http://pena.gunadarma.ac.id/trotoar-kota-dan-arsitek/
Kami yg ada di kopo sangat mendambakan punya trotoar, karena jalan di kopo mepet langsung dengan dinding pagar rmh dan itu disesaki kendaraan balik arah ke soreang maupun ke bandung. Kalau lg jalan pagi2 kami hrs hati2 sekali dlm keadaan jalan kosong kendaraan ngebut sedang kami ada di badan jalan karena tak ada trotoar. Tolong Pa Wali untuk memikirkannya.
makin lebar trotoar makin banyak yang jualan...trus bagaimana dengan pejalan kaki ?
Bicara soal larangan PKL yg jualan ditrotoar, maka sdh ada Perda Kota Bandung no 3 thn 2005 Psl 37.(d)dgn sanksi adm Psl 48 no urut 36 & sanksi pidana Psl 49.Kalau Perda sdh dijalankan dengan benar hingga PKL tak berjualan a.l ditrotoir, maka apa pembeli msh dpt membeli pd PKL ditrotoar ? Jd kenapa harus repot2 keluar Perda hal larangan membeli bagi Pembeli bila PKLnya sdh tak ada ditrotoar ?Ini ibarat pisau hanya tajam kebwh tp tumpul keatas.Tolong jalankan Peraturan yg sdh ada saja dgn semestinya&benar& secepatnya.
Bicara soal larangan PKL yg jualan ditrotoar, maka sdh ada Perda Kota Bandung no 3 thn 2005 Psl 37.(d)dgn sanksi adm Psl 48 no urut 36 & sanksi pidana Psl 49.Kalau Perda sdh dijalankan dengan benar hingga PKL tak berjualan a.l ditrotoir, maka apa pembeli msh dpt membeli pd PKL ditrotoar ? Jd kenapa harus repot2 keluar Perda hal larangan membeli bagi Pembeli bila PKLnya sdh tak ada ditrotoar ?Ini ibarat pisau hanya tajam kebwh tp tumpul keatas.Tolong jalankan Peraturan yg sdh ada saja dgn semestinya&benar& secepatnya.
Posting Komentar